Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan atau cita-cita nasional bangsa Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea Keempat. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya mendasar, yaitu upaya pendidikan dan pengajaran nasional tanpa memandang latar belakang, agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi.
Pasal 31 UUD 1945 hasil perubahan Keempat, mempertegas semangat untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar. Bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari APBN serta APBD. Bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Atas dasar itu, disahkanlah UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) melalui suatu undang-undang khusus yang mengatur itu.
Konsep BHP sebenarnya diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan. BHP bertujuan untuk membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan mengembalikannya kepada masyarakat dengan memberikan otonomi pengelolaan pendidikan formal.
Masalah yang paling ramai dikritisi tentunya mengenai pendanaan pendidikan, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebenarnya memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Dalam UU BHP diatur lebih lanjut bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menanggung seluruh biaya pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan dasar serta menangguung sekurang-kurangnya dua-per-tiga biaya penyelenggaraan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Permasalahan dasarnya sekarang adalah apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mampu melaksanakan substansi undang-undang tersebut secara konsekuen, jika APBN dan APBD masih tidak memprioritaskan anggaran pendidikan? Lalu siapa yang harus menanggung beban biaya pendidikan selama Pemerintah belum punya visi pembangunan jangka panjang yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama? Dalam kondisi seperti itu, munkinkah terwujud pemerataan kesempatan pendidikan?
Bingung menjawab berbagai pertanyaan diatas, hal yang kontra-prestasi adalah terbukanya peluang pembubaran BHP karena ketidakmampuan membayar hutang terkait biaya penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, suatu BHP dimungkinkan untuk dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang akan diikuti pula dengan likuidasi terhadap kekayaan BHP tersebut.
Masalah lain yang juga harus dikritisi adalah masalah pembubaran BHP. Dinyatakan bahwa BHP dapat bubar karena jangka waktu yang ditetapkan berakhir, atau karena tujuan BHP yang tidak atau sudah tercapai, atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pertanyaannya, kapan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa bisa terwujud? Apakah kalau sudah terwujud, penyelenggara pendidikan berhak membubarkan diri? Bukankah akan lahir generasi penerus yang akan melanjutkan tongkat kepemimpinan? Bukankah untuk itu diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang berkelanjutan?
No comments:
Post a Comment