Alkisah, Gubernur Amru bin Ash bermaksud membangun masjid megah untuk kepentingan kaum muslimin. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga melambangkan kemakmuran umat. Karenanya, rencana tersebut mendapat dukungan penuh kaum muslimin.
Namun sayang, rencana pembangunan masjid meliputi lahan yang diatasnya berdiri sebuah gubuk reyot milik seorang kakek Yahudi. Sang kakek Yahudi itu sendiri keberatan, sekalipun gubuk reyotnya akan diganti dengan tempat tinggal yang jauh lebih baik. Keberatan itu disebabkan karena masih melekatnya kenangan indah bersama anak dan isterinya saat tinggal bersama di gubuk itu. Namun, desakan gubernur dan masyarakat membuatnya tak mempunyai pilihan lain. Sang kakek akhirnya meninggalkan gubuk itu dengan rasa kesal dan marah.
Meski demikian, ia tak putus asa. Keyakinannya akan keadilan khalifah Umar ibnul Khaththab sebagai pemimpin kaum muslimin menumbuhkan keberaniannya untuk menemui beliau meski harus bersusah payah menempuh perjalanan jauh ke Madinah. Sesampainya di rumah khalifah, ia segera menyampaikan keluh kesah terkait masalah penggusuran gubuknya. Khalifah pun mendengarkan dengan seksama.
Setelah itu khalifah Umar berkata, “Wahai bapak tua, aku memahami apa yang kau rasakan”.
Beliau mengambil sepotong tulang, kemudian melanjutkan perkataannya, “Tulang hewan ini bersih ibarat tulang belulang manusia. Aku goreskan pedangku di sini. Maka serahkanlah tulang ini kepada gubernurmu,” khalifah Umar pun menyerahkan tulang yang telah digores pedang kepada kakek Yahudi tadi.
“Apa maksudnya ini tuan?” tanya kakek Yahudi penasaran.
”Apakah aku hanya menyerahkan tulang ini saja kepada gubernur?” tegasnya.
“Mungkin engkau akan menyertakan sepucuk surat bersama tulang ini?” tanya si kakek lagi.
“Apa artinya tulang ini? Apakah tulang ini bisa mengembalikan rumahku?” si kakek membatin.
Khalifah Umar mengangguk dan tersenyum. Si kakek pun kembali ke daerahnya dan menyerahkan tulang bergores pedang pada gubernur tanpa sepatah katapun.
Di luar dugaan, ketika gubernur mengetahui tulang bergores pedang itu adalah pemberian khalifah Umar ibnul Khaththab, maka saat itu juga wajahnya memucat, tangannya gemetar, lalu air mata pun menetes di pipinya. Si kakek menduga gubernur akan segera normal dengan kewibawaannya dan mampu menguasai perasaannya. Namun sekali lagi sang kakek terheran-heran, karena sang gubernur bukannya berhenti menangis, bahkan tangisnya menjadi semakin keras dan terisak-isak. Badannya berguncang hebat dan wajahnya memutih pucat pasi. Sungguh sang kakek Yahudi tak pernah menyangka akan mengalami kejadian luar biasa ini. Tak terbayangkan di benaknya kalau tulang bergores pedang tanpa tulisan itu mampu membuat gubernur yang berwibawa menjadi pucat pasi, gemetar, dan menangis terisak-isak. Tak tahan hatinya untuk bertanya.
“Wahai tuan kenapa engkau menangis seperti ini? Sungguh aku belum pernah melihat engkau berduka seperti sekarang ini. Padahal yang aku tahu engkau sedemikian berwibawa dan tegar. Sementara menurutku tak ada yang istimewa dengan tulang itu. Itu hanyalah tulang kambing biasa yang digores dengan pedang. Tak lebih dan tak kurang” tanya sang kakek.
“Wahai Fulan. Apakah kau tak memahami pesan khalifah ini?” tegasnya kepada Sang Kakek.
“Manusia datang ke dunia tidak membawa apa-apa. Kemudian mereka pun akan menjadi tulang-belulang putih seperti tulang ini,” kata gubernur sambil menunjukkan tulang yang dipegangnya ke hadapan si kakek.
“Tak ada bekal yang akan dibawa ke hadapan sang Pencipta kita kecuali amal shaleh, perbuatan lurus seperti lurusnya goresan pedang diatas tulang ini. Dan aku sebagai gubernur berkewajiban menegakkan itu semua. Kalau aku mengingkarinya, maka Khalifah akan meluruskanku dengan pedangnya, sebagaimana beliau membuat garis lurus pada tulang yang keras itu,” tegasnya.
“Wahai Fulan, bagaimana aku tidak berduka. Ternyata aku sebagai gubernur tidak mampu berlaku adil. Aku tidak berbuat lurus dalam perkara penggusuran rumahmu. Bagaimana aku dapat memper-tanggungjawabkan ketidakadilanku itu dihadapan Tuhanku kelak. Nanti ketika aku telah berubah menjadi tulang belulang tak ada dayaku lagi untuk memperbaiki diri. Maka jadilah aku makhluk yang merugi,” lanjutnya.
“Ketika aku melihat tulang bergores ini sadarlah aku akan kepemimpinanku. Sepertinya kini aku telah menjadi tulang-belulang. Semakin aku menyadari ini, semakin takutlah aku. Baruntung khalifah Umar mengingatkanku,” kata gubernur sambil mengusap air matanya.
Sang kakek Yahudi sungguh terkejut dengan penjelasan itu. Tak disangkanya hati sang gubernur demikian halus. Sangat memperhatikan umatnya dan sangat takut akan ketidakadilan yang dilakukannya.
Sang kakek pun membatin, “Padahal memang sepantasnya gubukku yang reyot dipindah dan digantikan dengan rumah yang lebih layak.”
“Sebenarnya gubernur itu telah berlaku adil. Justru akulah yang seharusnya tahu diri dan menerima sumua ini dengan lega karena sesungguhnya penggusuran rumahku tidak lain untuk pembangunan masjid yang merupakan kepentingan khalayak ramai. Akulah yang justru egois dengan kenangan lama yang melekat pada rumahku,” lanjut kakek dalam hatinya.
Dengan mantab akhirnya si kakek Yahudi berkata, “Wahai gubernur, maafkan aku. Aku terlalu mementingkan diri sendiri. Sekarang aku rela rumahku digusur untuk kepentingan kaum muslimin. Jangankan mendapat penggantian rumah yang lebih baik, tak dapat ganti pun aku rela,” tegasnya. “Wahai gubernur, saksikanlah mulai hari ini juga aku ingin menjadi muslim. Aku ingin memiliki keagungan hati seperti itu,” yakin kakek.
Sang gubernur menjadi gembira. Wajahnya kembali cerah. Dipeluknya sang kakek dan mereka berdua memandangi masjid yang berdiri kokoh, perlambang keagungan hati mereka berdua.
No comments:
Post a Comment