Alkisah, sudah lama Abu Thalhah memperhatikan seorang ‘Budak Hitam’ yang bekerja di kebun tetangganya. Abu Thalhah sendiri adalah seorang yang kaya pada zamannya. Ia banyak memiliki perkebunan. Salah satunya adalah kebun yang letaknya bersebelahan dengan kebun dimana Budak Hitam itu bekerja. Kebun majikan si Budak tidaklah seluas milik Abu Thalhah, karenanya ia hanya mendapat upah yang sangat sedikit, yakni hanya tiga potong roti per harinya.
Budak Hitam menjalani hidupnya dengan ikhlas dan keimanan yang tinggi. Tidak ada alasan untuk memprotes kemalangan hidup dan minimnya upah yang diterimanya. Ia memandang masih ada banyak kemurahan Tuhan yang harus ia syukuri. Baginya, sekedar bisa bernafas saja sudah merupakan nikmat yang tak sanggup dibayarnya. Ia selalu merasa bahwa amalannya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kemurahan-Nya.
Pada suatu ketika, si Budak Hitam ini mendapati seekor anjing yang menghampirinya dengan menjalurkan lidah sebagai tanda kelaparan. Melihat itu, ia memberikan satu dari tida potong roti yang digenggamnya. Tapi setelah roti itu dihabiskan, anjing tetap menjulurkan lidahnya dan tak beranjak dari hadapannya, maka diberikanlah satu potong roti lagi. Bahkan satu potong roti terakhirpun lagi-lagi diberikan kepada anjing tadi sehingga anjing kenyang dan beranjak meninggalkannya.
Abu Thalhah yang memang sudah lama memperhatikan si Budak menjadi tertegun menyaksikan apa yang baru saja dilihatnya. Ia tahu persis bahwa upahnya hanya tiga potong roti dan semuanya telah ia berikan kepada anjing tadi. Karena rasa penasannya, Abu Thalhah kemudian mendekati si Budak Hitam kemudian bertanya,
“Sadarkah engkau dengan apa yang telah engkau lakukan?”
“Sadar”, jawab si Budak
“Adakah upah lain yang diberikan majikanmu?”
“Upahku hanyalah apa yang tuan lihat”
Kemudian Abu Thalhah kembali bertanya,
“Apa kamu tidak merasa khawatir tidak mendapat makanan?”
“Saya tidak khawatir. Ada upah saya yang lain dari Tuhanku. Saya yakin Tuhan saya akan memperhatikan saya”, jawab si Budak penuh keyakinan
“Apa kamu tidak akan menyesal nantinya?”
“Untuk apa saya harus menyesal”.
Tahulah si Budak Hitam bahwa Abu Thalhah memperhatikan perilakunya terhadap anjing tadi. Tapi sungguh karena ketulusannya, ia tidak tahu kenapa Abu Thalhah mempunyai rasa ingin tahu yang sedemikian besarnya.
Setelah berbincang-bincang, Abu Thalhah minta ditunjukkan rumah majikan si Budak. Sesampainya di rumah majikan si Budak, Abu Thalhah menanyakan kepada sang majikan apakah ia bersedia menjual kebun miliknya beserta si Budak Hitam tadi. Singkat cerita, berpindah tanganlah kebun itu menjadi milik Abu Thalhah. Dan Abu Thalhah menghadiahkan kebun itu kepada Budak Hitam tadi. Dan jadilah si Budak menjadi pemilik baru kebun tersebut.
No comments:
Post a Comment