10 December 2008

Sekilas Sejarah Seleksi Masuk PTN

Sebelum tahun 1970-an, seleksi masuk PTN diadakan secara mandiri oleh masing-masing PTN. Jadi, seorang anak yang ingin masuk UI harus pontang-panting datang dan ikut tes di Jakarta. Yang mau masuk ITB harus ke Bandung, Yang mau UGM, harus ke Yogya, begitu seterusnya...

Karena pola seleksi seperti itu dinilai tidak efisien, maka pada tahun 1976 ada 5 PTN yang membuat proyek Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU). Kelima PTN tersebut adalah UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR. Seleksi pun dilaksanakan serantak dengan menggunakan model soal yang sama. Proyek SKALU dianggap berhasil namun masih memiliki kelemahan karena seorang peserta dapat diterima di 2 universitas/institut sekaligus. Ini terjadi karena belum diterapkannya prioritas pilihan program studi.

Di tahun 1979, SKALU dikembangkan menjadi Proyek Perintis I (PP I) yang beranggotakan 11 PTN. Jalur PP I ini merupakan jalur tes yang harus dilalui calon mahasiswa/i sebelum dinyatakan diterima di salah satu PTN tersebut. Selain PP I, dibuat pula PP II yang merupakan jalur non-tes yang sekarang populer dengan istilah PPKB/PMDK.

Tahun 1983, PP I diubah menjadi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Selang beberapa tahun, tepatnya tahun 1989, Sipenmaru diubah lagi sehingga menjadi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Pada Tahun 2002, UMPTN diganti menjadi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dengan diikuti pemangkasan jumlah soal. Jika pada UMPTN ada 170 soal yang harus dikerjakan peserta, maka pada SPMB soal hanya 150.

Dan pada tahun 2008 lalu, SPMB diganti istilah menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan jumlah soal dan pola seleksi yang sama dengan SPMB.

Terkait dengan perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka lahirlah berbagai jalur mandiri yang membutuhkan pembiayaan tinggi. Lihat saja PMBP-ITB, SM-UNPAD, UTUL-UGM, PMDK Swadaya-UNAIR dsb. Lihat pula bentuk kerjasama dalam skala kecil, yakni UMB. Bukankah pola-pola tersebut dahulu pernah dijalankan (meski dengan tujuan berbeda)? Bukankah pola seperti itu terbukti tidak efisien dan berpeluang merugikan peserta?

No comments: