Analisis terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.1 Tahun 2004 Tentang Bunga.
Definisi riba menurut ulama fiqh adalah kelebihan atau penambahan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan dari yang berpiutang. Maksudnya, pihak yang berhutang harus memberikan tambahan atas modal yang dipinjam akibat suatu transaksi utang-piutang ketika hutang telah jatuh tempo. Praktek seperti ini disebut riba nasi’ah.
Bunga merupakan tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa memperhitungkan pemanfaatannya. Bunga diperhitungkan secara pasti di muka yang pada umumnya berdasarkan persentase tertentu serta dalam jangka waktu tertentu.
Menurut pandangan MUI, praktek pembungaan uang yang saat ini dijalankan oleh bank-bank konvensional ternyata telah memenuhi kriteria riba, bahkan lebih buruk daripada riba yang dahulu terjadi di zaman Rasulullah SAW. Dalam praktek yang dahulu terjadi, tambahan baru dikenakan saat orang yang berhutang tidak mampu mengembalikan pinjaman saat jatuh temponya. Sedangkan dalam sistem pembungaan sekarang, tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi. Oleh karena itu, MUI melalui Fatwa No.1 Tahun 2004 Tentang Bunga menyatakan bahwa praktek pembungaan uang yang saat ini berlangsung termasuk sebagai riba, dan riba itu sendiri diharamkan hukumnya.
Perlu juga diperhatikan pendapat dari Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba dan Yusuf al-Qardhawi dalam Fawa’id al-Banuk yang menyatakan bahwa bunga yang berlaku di bank-bank dan dipraktekkan oleh masyarakat tidak diragukan lagi keharamannya. Tentang keharaman bunga bank ini juga telah disepakati dalam berbagai Forum Ulama Internasional, antara lain dalam Majma’ul Buhuts al-Islamiyah di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965; Majma’ al-Fiqh al-Islamy negara-negara OKI di Jeddah pada Desember 1985; dan Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy di Mekkah pada tahun 1985. (Pertimbangan Fatwa MUI No.1 Tahun 2004).
Islam sendiri sangat keras melarang riba. Hal ini terkait dengan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan praktek riba tersebut. Bahkan Islam menganggap bahwa dosa riba lebih besar daripada perzinahan, sebuah jinayah hudud yang diancam dengan hukuman rajam ataupun dera (Sa’id Hawwa, Al-Islam). Dalam sebuah riwayat disebutkan,
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang dan dia tahu (hukumnya)adalah lebih buruk daripada tiga puluh enam kali zina”
Kemudian dari Abu Hurairah ra diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Hindarilah tujuh dosa besar yang mencelakakan! Kepada Rasulullah ditanyakan: Apa apa dosa-dosa besar yang dimaksud wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya tanpa alasan yang benar, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan pertempuran, dan mencemarkan nama baik wanita mukmin yang lengah”. (H.R. Muslim).
Allah SWT dengan jelas mengharamkan praktek ribawi, sebagaimana firman-Nya:
“Orang-orang yang memakan riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (penyakit) gila. Keadaan yang demikian itu karena mereka berkatabahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah (2): 275).
No comments:
Post a Comment